~HIJRAH
Adalah masa transformasi dari kegelapan menuju cahaya, masih banyak kekurangan dalam diri yang harus diperbaiki.
~HAMASAH
Adalah masa mulai semangat-semangatnya memperbaiki diri, namun terkadang diri masih sering futur (down).
~ISTIQAMAH
Adalah kondisi dimana iman relatif stabil karena sudah punya amalan andalan untuk menjaga agar hati tetap dalamsemangat Taqwa.
~QUDWAH
Adalah mereka yang istiqomah yang mampu memberikan banyak manfaat kepada Umat, sehingga mereka dijadikan contoh dalam kebaikan.
4 Tingkatan Kualitas Diri Seorang Mukmin
07.32 |
Comments(1)
Teman Segalanya
07.21 |
كل شيء له جمال
(مجوهرات) في إنشائها. أفضل من المجوهرات شخص هو الكمال الاخلاقي.
“segala sesuatu memiliki keindahan (perhiasan) dalam
penciptaanya. sebaik-baik perhiasan seseorang adalah kesempurnaan akhlaknya.”
Teman Bergaul, Cerminan Diri Anda
08.01 |
Oleh
Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc
Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc
Sebenarnya, sangat mudah mengetahui
seperti apa cerminan diri Anda. Cukup dengan melihat bersama siapa saja Anda
sering bergaul, seperti itulah cerminan diri Anda. Kenyataan ini telah
dipaparkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ (أخيه)
الْمُؤْمِنِ
Seorang mukmin cerminan dari
saudaranya yang mukmin [1]
Kalau seorang biasa berkumpul dengan
seseorang yang hobinya berjudi, maka kurang lebih dia seperti itu juga. Begitu
pula sebaliknya, kalau dia biasa berkumpul dengan orang yang rajin shalat
berjamaah, maka kurang lebih dia seperti itu.
Allah Azza wa Jalla menciptakan ruh
dan menciptakan sifat-sifat khusus untuk ruh tersebut. Di antara sifat ruh
(jiwa) adalah dia tidak mau berkumpul dan bergaul dengan selain jenisnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menegaskan hakekat ini dengan
bersabda:
الأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ
فَمَا تَعَارَفَ مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
Ruh-ruh itu bagaikan pasukan yang
berkumpul (berkelompok). (Oleh karena itu), jika mereka saling mengenal maka
mereka akan bersatu, dan jika saling tidak mengenal maka akan berbeda
(berpisah) [2]
Memilih teman yang baik adalah
sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan agar kita
tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ
فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
Seseorang itu tergantung pada agama
temannya. Oleh karena itu, salah satu di antara kalian hendaknya memperhatikan
siapa yang dia jadikan teman [3]
Sudah dapat dipastikan, bahwa
seorang teman memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap temannya. Teman bisa
mempengaruhi agama, pandangan hidup, kebiasaan dan sifat-sifat seseorang.
Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-Qâsim [4]
berkata, “Sifat manusia adalah cepat terpengaruh dengan teman pergaulannya.
Manusia saja bisa terpengaruh bahkan dengan seekor binatang ternak.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
الْفَخْرُ وَالْخُيَلاَءُ فِي
الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ
Kesombongan dan keangkuhan terdapat
pada orang-orang yang meninggikan suara di kalangan pengembala onta. Dan
ketenangan terdapat pada pengembala kambing [5]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengabarkan bahwa mengembalakan onta akan berpengaruh akan timbulnya
kesombongan dan keangkuhan dan mengembalakan kambing berpengaruh akan timbulnya
sifat ketenangan. Jika dengan hewan saja, makhluk yang tidak punya berakal dan
kita tidak tahu apa maksud dari suara yang dikeluarkannya, manusia saja bisa
terpengaruh .… maka bagaimana pendapat Anda dengan orang yang bisa bicara
dengan Anda, paham perkataan Anda, bahkan terkadang membohongi dan mengajak
Anda untuk memenuhi hawa nafsunya serta memperdayai Anda dengan syahwat?
Bukankan orang itu akan lebih berpengaruh? [6]
Setelah mengetahui betapa pentingnya
memilih teman yang baik, di sini akan dipaparkan sifat dan karakter orang yang
pantas dijadikan sebagai teman dan sahabat karib. Di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Berakidah Lurus
Ini menjadi syarat mutlak dalam memilih teman. Dia harus beragama Islam dan berakidah Ahlus sunnah wa -jamâ’ah. Bukankah kita semua tahu kisah kematian Abu Thalib, paman Rasulullah?
Ini menjadi syarat mutlak dalam memilih teman. Dia harus beragama Islam dan berakidah Ahlus sunnah wa -jamâ’ah. Bukankah kita semua tahu kisah kematian Abu Thalib, paman Rasulullah?
Ya, dalam keadaan terbaring dan
menghadapi detik-detik kematian, ada tiga orang yang menyertainya. Mereka
adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Jahl dan ‘Abdullah bin
Abi Umayyah, dua orang terakhir ini adalah tokoh kaum kafir Quraisy. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak pamannya dengan berseru, “Paman!
Katakanlah lâ ilâha illallâh! Satu kalimat yang akan ku jadikan bahan pembelaan
bagimu di hadapan Allah.” Dua tokoh kafir itu menimpali, “Abu Thalib! Apakah
kamu membenci agama Abdul-Muththalib?”
Tanpa henti, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam “menawarkan” kalimat itu dan sebaliknya mereka berdua juga
terus melancarkan pengaruh. Sampai akhirnya Abu Thalib masih enggan mengucapkan
lâ ilâha illallâh dan tetap memilih agama Abdul-Muththalib.[7] Ia pun mati
dalam kekufuran.
Cobalah lihat buruknya pengaruh
orang-orang yang ada di sekitarnya! Padahal Abu Thalib sudah membenarkan ajaran
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hatinya.
2. Bermanhaj Lurus
Ini juga menjadi sifat mutlak yang kedua. Oleh karena itu, Islam melarang berteman dengan ahlul-bid’ah dan ahlul-hawa’. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Janganlah kalian duduk-duduk bersama dengan ahlulhawa! Sesungguhnya duduk-duduk dengan mereka menimbulkan penyakit dalam hati (yaitu bid’ah ).”[8]
Ini juga menjadi sifat mutlak yang kedua. Oleh karena itu, Islam melarang berteman dengan ahlul-bid’ah dan ahlul-hawa’. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma berkata, “Janganlah kalian duduk-duduk bersama dengan ahlulhawa! Sesungguhnya duduk-duduk dengan mereka menimbulkan penyakit dalam hati (yaitu bid’ah ).”[8]
3. Taat Beribadah Dan Menjauhi
Perbuatan Maksiat
Allah Azza wa Jalla berfirman:
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ
يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ
Sabarkanlah dirimu bersama
orang-orang yang berdoa kepada Allah, pada waktu pagi dan petang, (yang mereka
itu) menginginkan wajah-Nya [al-Kahfi/18: 28]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam
Ibnu Katsîr rahimahullah menyatakan, “Duduklah bersama orang-orang yang
mengingat Allâh, yang ber-tahlîl (mengucapkan lâ ilâha illallâh), memuji,
ber-tasbiih (mengucapkan subhaanallah), bertakbir (mengucapkan Allâhu akbar)
dan memohon pada-Nya di waktu pagi dan petang di antara hamba-hamba Allâh, baik
mereka itu orang-orang miskin atau orang-orang kaya, baik mereka itu
orang-orang kuat maupun orang-orang yang lemah.”
4. Berakhlak Terpuji Dan Bertutur
Kata Baik
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah mukmin yang paling baik akhlaknya [9]
Al-Ahnaf bin Qais rahimahullah
berkata, “Kami dulu selalu mengikuti Qais bin ‘Ashim. Melalui dirinya, kami
belajar kesabaran dan kemurahan hati sebagaimana kami belajar ilmu fikih.”[10]
5. Teman Yang Suka Menasehati Dalam
Kebaikan
Teman yang baik tentu tidak senang jika kawannya sendiri terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika Anda memiliki teman, tetapi tidak pernah menegur dan tidak memperdulikan diri Anda ketika melakukan kesalahan, maka perlu dipertanyakan landasan persahabatan yang mengikat mereka berdua. Ia bukan seorang teman?
Teman yang baik tentu tidak senang jika kawannya sendiri terjatuh dalam perbuatan dosa. Jika Anda memiliki teman, tetapi tidak pernah menegur dan tidak memperdulikan diri Anda ketika melakukan kesalahan, maka perlu dipertanyakan landasan persahabatan yang mengikat mereka berdua. Ia bukan seorang teman?
Salah satu ciri orang yang tidak
rugi sebagaimana disebutkan oleh Allah Azza wa Jalla pada surat al-‘Ashr,
mereka saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Tidak sempurna iman salah seorang
dari kalian sampai dia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri
[11]
6. Zuhud Terhadap Dunia Dan Tidak
Berambisi Mengejar Kedudukan
Teman yang baik tentu tidak akan menyibukkan saudaranya dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti sibuk membicarakan model-model handphone, mobil mewah keluaran terbaru dan barang-barang konsumtif yang menjadi incaran kaum hedonis.
Teman yang baik tentu tidak akan menyibukkan saudaranya dengan hal-hal yang bersifat keduniawian, seperti sibuk membicarakan model-model handphone, mobil mewah keluaran terbaru dan barang-barang konsumtif yang menjadi incaran kaum hedonis.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Bersikaplah zuhud terhadap dunia, maka Allah akan
mencintaimu. Dan bersikaplah tidak membutuhkan terhadap apa-apa yang dimiliki
manusia, maka manusia akan mencintaimu.”[12]
7. Banyak Ilmu Atau Dapat Berbagi
Ilmu Dengannya
Tidak salah lagi, berteman dengan orang-orang yang punya dan mengamalkan ilmu agama akan memberi pengaruh positif yang besar pada diri kita.
Tidak salah lagi, berteman dengan orang-orang yang punya dan mengamalkan ilmu agama akan memberi pengaruh positif yang besar pada diri kita.
8. Berpakaian Yang Islami
Teman yang baik selalu memperhatikan pakaiannya, baik dari segi syariat, kebersihan dan kerapiannya. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam kitab al-Hilyah, “Perhiasan yang tampak menunjukkan kecondongan hati. Orang-orang akan mengklasifikasikan dirimu hanya dengan melihat pakaianmu…Maka pakailah pakaian yang menghiasimu dan tidak menjelekkanmu, dan tidak menjadi bahan celaan dalam pembicaraan orang atau bahan ejekan orang-orang tukang cemooh.”[13]
Teman yang baik selalu memperhatikan pakaiannya, baik dari segi syariat, kebersihan dan kerapiannya. Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah berkata dalam kitab al-Hilyah, “Perhiasan yang tampak menunjukkan kecondongan hati. Orang-orang akan mengklasifikasikan dirimu hanya dengan melihat pakaianmu…Maka pakailah pakaian yang menghiasimu dan tidak menjelekkanmu, dan tidak menjadi bahan celaan dalam pembicaraan orang atau bahan ejekan orang-orang tukang cemooh.”[13]
9. Ia Selalu Menjaga Kewibawaan Dan
Kehormatan Dirinya Dari Hal-Hal Yang Tidak Layak Menurut Pandangan Masyarakat
Teman yang baik selalu memelihara dirinya dari perkara-perkara tersebut, kendatipun merupakan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, bukan maksiat. Seandainya suatu daerah menganggap bahwa main bola sodok adalah permainan tercela (sebuah aib bagi orang yang ikut bermain), maka tidak sepantasnya bergaul dengan orang-orang yang suka bermain permainan itu.
Teman yang baik selalu memelihara dirinya dari perkara-perkara tersebut, kendatipun merupakan hal-hal yang diperbolehkan dalam agama, bukan maksiat. Seandainya suatu daerah menganggap bahwa main bola sodok adalah permainan tercela (sebuah aib bagi orang yang ikut bermain), maka tidak sepantasnya bergaul dengan orang-orang yang suka bermain permainan itu.
Betapa indah ucapan Imam Syâfi’i
rahimahullah :
لَوْ أَنَّ اْلمَاءَ اْلبَارِدَ
يَثْلَمُ مِنْ مُرُوْءَتِيْ شَيْئًا مَا شَرِبْتُ اْلمَاءَ إلاَّ حَارًّا
Seandainya air yang dingin merusak
kewibawaanku (kehormatanku), maka saya tidak akan minum air kecuali yang panas
saja [14]
10. Sosok Yang Tidak Banyak Bergurau
Dan Meninggalkan Hal-Hal Yang Tak Bermanfaat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ
تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيهِ
Di antara ciri baiknya keislaman
seseorang, dia meninggalkan hal-hal yang tak bermanfaat baginya [15]
Memang kelihatannya agak sulit
mendapatkan teman ideal sesuai dengan pemaparan di atas. Akan tetapi, dengan
idzin Allah Azza wa Jalla kemudian dengan usaha yang kuat serta doa kepada
Allah, kita akan mendapatkan orang-orang seperti itu.
Catatan Penting :
Perlu menjadi catatan, melalui keterangan di atas yang menganjurkan mencari teman yang berlatar-belakang baik, bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang-orang di sekitar kita. Bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang kafir, ahlul-bid’ah, orang-orang fasik dan orang-orang berkarakter buruk lainnya. Akan tetapi, pergaulan dengan mereka mesti dilandasi keinginan dan niat untuk mendakwahi dan memperbaiki mereka.
Perlu menjadi catatan, melalui keterangan di atas yang menganjurkan mencari teman yang berlatar-belakang baik, bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang-orang di sekitar kita. Bukan berarti kita tidak bergaul dengan orang kafir, ahlul-bid’ah, orang-orang fasik dan orang-orang berkarakter buruk lainnya. Akan tetapi, pergaulan dengan mereka mesti dilandasi keinginan dan niat untuk mendakwahi dan memperbaiki mereka.
Dalam masalah ini, kita harus
melihat dan mempertimbangkan sisi kemaslahatan (kebaikan) dan madharat (bahaya)
yang akan terjadi pada diri kita dan orang orang lain di sekitar kita pada saat
kita bergaul dengan mereka. Jika pergaulan kita dengan mereka mendatangkan
manfaat yang besar bagi mereka, maka kita boleh bergaul dengan mereka. Begitu
pula sebaliknya, jika tidak mendatangkan manfaat tetapi justru mendatangkan
bahaya, maka bergaul dengan mereka menjadi perkara larangan.
Simaklah keterangan Syaikh Muhammad
al-‘Utsaimîn rahimahullah berikut, “Jika di dalam pergaulan dengan orang-orang
fasik menjadikan sebab datangnya hidayah baginya, maka tidak mengapa berteman
dengannya. Engkau bisa undang dia ke rumahmu, kamu datang ke rumahnya atau kamu
jalan-jalan bersamanya, dengan syarat tidak mengotori kehormatan dirimu dalam
andangan masyarakat. Betapa banyak orang-orang fasik mendapatkan hidayah dengan
berteman dengan orang-orang yang baik.”[16]
Di tengah masyarakat, jika Anda
tidak memilih teman yang baik, maka tinggal pilih; Andakah yang akan
mempengaruhi orang-orang untuk menjadi lebih baik atau Andakah menjadi korban
pengaruh buruk lingkungan (kawan-kawan) Ingat! Tidak ada pilihan yang ketiga.
Wallâhul muwaffiq.
Kemuliaan dan Keutamaan Aisyah
07.22 |
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah dua tahun sebelum hijrah melalui sebuah ikatan suci yang mengukuhkan gelar Aisyah menjadi ummul mukminin, tatkala itu Aisyah masih berumur enam tahun. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membangun rumah tangga dengannya setelah berhijrah, tepatnya pada bulan Syawwal tahun ke-2 Hijriah dan ia sudah berumur sembilan tahun. Aisyah menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pasca meninggalnya Khadijah sedang aku masih berumur enam tahun, dan aku dipertemukan dengan Beliau tatkala aku berumur sembilan tahun. Para wanita datang kepadaku padahal aku sedang asyik bermain ayunan dan rambutku terurai panjang, lalu mereka menghiasiku dan mempertemukan aku dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Abu Dawud: 9435). Kemudian biduk rumah tangga itu berlangsung dalam suka dan duka selama 8 tahun 5 bulan, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia pada tahun 11 H. Sedang Aisyah baru berumur 18 tahun.
Aisyah adalah seorang wanita berparas
cantik berkulit putih, sebab itulah ia sering dipanggil dengan “Humaira”.
Selain cantik, ia juga dikenal sebagai seorang wanita cerdas yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala telah mempersiapkannya untuk menjaid pendamping Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam mengemban amanah risalah yang akan menjadi penyejuk
mata dan pelipur lara bagi diri beliau. Suatu hari Jibril memperlihatkan
(kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) gambar Aisyah pada
secarik kain sutra berwarna hijau sembari mengatakan, “Ia adalah calon istrimu
kelak, di dunia dan di akhirat.” (HR. At-Tirmidzi (3880), lihat Shahih Sunan
at-Tirmidzi (3041))
Selain menjadi seorang pendamping
setiap yang selalu siap memberi dorongan dan motivasi kepada suami tercinta di
tengah beratnya medan dakwah dan permusuhan dari kaumnya, Aisyah juga tampil
menjadi seorang penuntut ilmu yang senantiasa belajar dalam madrasah nubuwwah
di mana beliau menimba ilmu langsung dari sumbernya. Beliau tercatat termasuk
orang yang banyak meriwayatkan hadits dan memiliki keunggulan dalam berbagai
cabang ilmu di antaranya ilmu fikih, kesehatan, dan syair Arab. Setidaknya
sebanyak 1.210 hadits yang beliau riwayatkan telah disepakati oleh Imam Bukhari
dan Muslim dan 174 hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari serta 54
hadits yang hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim. Sehingga pembesar para sahabat
kibar tatkala mereka mendapatkan permasalahan mereka datang dan merujuk kepada
Ibunda Aisyah.
Kedudukan
Aisyah di Sisi Rasulullah
Suatu hari orang-orang Habasyah masuk
masjid dan menunjukkan atraksi permainan di dalam masjid, lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memanggil Aisyah, “Wahai Humaira, apakah engkau mau
melihat mereka?” Aisyah menjawab, “Iya.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdiri di depan pintu, lalu aku datang dan aku letakkan daguku pada
pundak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tempelkan
wajahku pada pipi beliau.” Lalu ia mengatakan, “Di antara perkataan mereka
tatkala itu adalah, ‘Abul Qasim adalah seorang yang baik’.” Maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan, “Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Ia
menjawab: “Jangan terburu-buru wahai Rasulullah.” Maka beliau pun tetap berdiri.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengulangi lagi pertanyaannya,
“Apakah sudah cukup wahai Aisyah?” Namun, Aisyah tetap menjawab, “Jangan
terburu-buru wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aisyah
mengatakan, “Sebenarnya bukan karena aku senang melihat permainan mereka,
tetapi aku hanya ingin memperlihatkan kepada para wanita bagaimana kedudukan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadapku dan kedudukanku
terhadapnya.” (HR. An-Nasa’i (5/307), lihat Ash Shahihah (3277))
Canda Nabi
kepada Aisyah
Aisyah bercerita, “Suatu waktu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang untuk menemuiku sedang
aku tengah bermain-main dengan gadis-gadis kecil.” Lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya kepadaku, “Apa ini wahai Aisyah.” Lalu aku
katakan, “Itu adalah kuda Nabi Sulaiman yang memiliki sayap.” Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun tertawa. (HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat (8/68), lihat
Shahih Ibnu Hibban (13/174))
Suatu hari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berlomba lari dengan Aisyah dan Aisyah menang. Aisyah
bercerita, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berlari dan mendahuluiku
(namun aku mengejarnya) hingga aku mendahuluinya. Tetapi, tatkala badanku
gemuk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajak lomba lari lagi namun
beliau mendahului, kemudian beliau mengatakan, “Wahai Aisyah, ini adalah
balasan atas kekalahanku yang dahulu’.” (HR. Thabrani dalam Mu’jamul Kabir
23/47), lihat Al-Misykah (2.238))
Keutamaan-keutamaan
Aisyah
Banyak sekali keutamaan yang dimiliki
oleh Ibunda Aisyah, sampai-sampai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah mengatakan dalam sabdanya:
“Orang yang mulia dari kalangan
laki-laki banyak, namun yang mulia dari kalangan wanita hanyalah Maryam binti
Imron dan Asiyah istri Fir’aun, dan keutamaan Aisyah atas semua wanita sepeerti
keutamaan tsarid atas segala makanan.” (HR.
Bukhari (5/2067) dan Muslim (2431))
Beberapa kemuliaan itu di antaranya:
Pertama: Beliau adalah satu-satunya istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahi tatkala gadis, berbeda dengan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain karena mereka dinikahi tatkala janda.
Pertama: Beliau adalah satu-satunya istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dinikahi tatkala gadis, berbeda dengan istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain karena mereka dinikahi tatkala janda.
Aisyah sendiri pernah mengatakan, “Aku
telah diberi sembilan perkara yang tidak diberikan kepada seorang pun setelah
Maryam. Jibril telah menunjukkan gambarku tatkala Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam diperintah untuk menikahiku, beliau menikahiku tatkala
aku masih gadis dan tidaklah beliau menikahi seorang gadis kecuali diriku,
beliau meninggal dunia sedang kepalanya berada dalam dekapanku serta beliau
dikuburkan di rumahku, para malaikat menaungi rumahku, Al-Quran turun sedang
aku dan beliau berada dalam satu selimut, aku adalah putri kekasih dan sahabat
terdekatnhya, pembelaan kesucianku turun dari atas langit, aku dilhairkan dari
dua orang tua yang baik, aku dijanjikan dengna ampunan dan rezeki yang mulia.”
(Lihat al-Hujjah Fi Bayan Mahajjah (2/398))
Kedua:
Beliau adalah orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dari kalangan wanita.
Suatu ketika Amr bin al-Ash bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
siapakah manusia yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, “Aisyah.”
“Dari kalangan laki-laki?” tanya Amr. Beliau menjawab, “Bapaknya.” (HR.
Bukhari (3662) dan Muslim (2384))
Maka pantaskah kita membenci apalagi
mencela orang yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam?!! Mencela Aisyah berarti mencela, menyakiti hati, dan mencoreng
kehormatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Na’udzubillah.
Ketiga:
Aisyah adalah wanita yang paling alim daripada wanita lainnya.
Berkata az-Zuhri, “Apabila ilmu Aisyah
dikumpulkan dengna ilmu seluruh para wanita lain, maka ilmu Aisyah lebih
utama.” (Lihat Al-Mustadrak Imam Hakim (4/11))
Berkata Atha’, “Aisyah adalah wanita
yang paling faqih dan pendapat-pendapatnya adalah pendapat yang paling membawa
kemaslahatan untuk umum.” (Lihat al-Mustadrok Imam Hakim (4/11))
Berkata Ibnu Abdil Barr, “Aisyah adalah
satu-satunya wanita di zamannya yang memiliki kelebihan dalam tiga bidang ilmu:
ilmu fiqih, ilmu kesehetan, dan ilmu syair.”
Keempat:
Para pembesar sahabat apabila menjumpai ketidakpahaman dalam masalah agama,
maka mereka datang kepada Aisyah dan menanyakannya hingga Aisyah menyebutkan
jawabannya.
Berkata Abu Musa al-Asy’ari, “Tidaklah
kami kebingungan tentang suatu hadits lalu kami bertanya kepada Aisyah, kecuali
kami mendapatkan jawaban dari sisinya.” (Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi (3044))
Kelima:
Tatkala istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi pilihan
untuk tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengna kehidupan
apa adanya, atau diceraikan dan akan mendapatkan dunia, maka Aisyah adalah
orang pertama yang menyatakan tetap bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagaimanapun kondisi beliau sehingga istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang lain mengikuti pilihan-pilihannya.
Keenam:
Syari’at tayammum disyari’atkan karena sebab beliau, yaitu tatkala manusia
mencarikan kalungnya yang hilang di suatu tempat hingga datang waktu Shalat
namun mereka tidak menjumpai air hingga disyari’atkanlah tayammum.
Berkata Usaid bin Khudair, “Itu adalah
awal keberkahan bagi kalian wahai keluarga Abu Bakr.” (HR. Bukhari (334))
Ketujuh:
Aisyah adalah wanita yang dibela kesuciannya dari langit ketujuh.
Prahara tuduhan zina yang dilontarkan
orang-orang munafik untuk menjatuhkan martabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam lewat istri beliau telah tumbang dengan turunnya 16 ayat secara
berurutan yang akan senantiasa dibaca hingga hari kiamat. Allah Subhanahu wa
Ta’ala mempersaksikan kesucian Aisyah dan menjanjikannya dengan ampunan dan
rezeki yang baik.
Namun, karena ketawadhu’annya
(kerendahan hatinya), Aisyah mengatakan, “Sesungguhnya perkara yang menimpaku
atas diriku itu lebih hina bila sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman tetnangku melalui wahyu yang akan senantiasa dibaca.” (HR. Bukhari
(4141))
Oleh karenanya, apabila Masruq
meriwayatkan hadits dari Aisyah, beliau selalu mengatakan, “Telah bercerita
kepadaku Shiddiqoh binti Shiddiq, wanita yang suci dan disucikan.”
Kedelapan:
Barang siapa yang menuduh beliau telah berzina maka dia kafir, karena Al-Quran
telah turun dan menyucikan dirinya, berbeda dengan istri-istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang lain.
Kesembilan:
Dengan sebab beliau Allah Subhanahu wa Ta’ala mensyari’atkan hukuman
cambuk bagi orang yang menuduh wanita muhShanat (yang menjaga diri) berzina,
tanpa bukti yang dibenarkan syari’at.
Kesepuluh:
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sakit, Beliau memilih
tinggal di rumah Aisyah dan akhirnya Beliau pun meninggal dunia dalam dekapan
Aisyah.
Berkata Abu Wafa’ Ibnu Aqil, “Lihatlah
bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih untuk tinggal
di rumah Aisyah tatkala sakit dan memilih bapaknya (Abu Bakr) untuk
menggantikannya mengimami manusia, namun mengapa keutamaan agung semacam ini
bisa terlupakan oleh hati orang-orang Rafidhah padahal hampir-hampir saja
keutamaan ini tidak luput sampaipun oleh binatang, bagaimana dengan mereka…?!!”
Aisyah meninggal dunia di Madinah malam
selasa tanggal 17 Ramadhan 57 H, pada masa pemerintahan Muawiyah, di usianya
yang ke 65 tahun, setelah berwasiat untuk dishalati oleh Abu Hurairah dan
dikuburkan di pekuburan Baqi pada malam itu juga. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala meridhai Aisyah dan menempatkan beliau pada kedudukan yang tinggi di
sisi Rabb-Nya. Aamiin.
Langganan:
Postingan (Atom)